Senin, 13 Juni 2016

Tragedi Toga dibalik Wisuda

Oleh: Shohibul Habib, S.Th.I

Dalam hiruk-pikuk selebrasi wisuda, toga menjelma bagai “jas presiden” yang pantas diagung-agungkan. Toga mengabarkan pada khalayak bahwa seorang anak manusia telah selesai masa studinya di universitas atau sekolah dengan raihan gelar bertajuk sarjana/wisudawan. Toga mengukuhkan kuasa serta identitas murid menjadi manusia merdeka dan berhasil lulus. Ya, manusia yang merdeka dari kungkungan pelbagai tugas kuliah, PR Sekolah dan tetek-bengek urusan pendidikan.
Aneh kedengarannya, jika wisudawan atau wisudawati tak mengenakan toga saat wisuda tiba. Entah fenomena ini telah menjadi tradisi wajib para akademisi saat wisuda tiba, atau sekadar selebrasi event yang bisa saja diganti jika sudah tak relevan dengan zamannya. Yang pasti, toga telah ditafsir wisudawan atau wisudawati sebagai simbol kesuksesan studi.
Sadar atau tidak, toga yang seharusnya menjadi simbol “kewibawaan” bagi para sarjana, alih-alih justru menjelma menjadi tragedi yang memilukan, bahkan menyengsarakan. Toga menjadi tragedi, tatkala sarjana tak kuasa memaknainya secara kritis. Toga yang semula menjadi kawan saat wisuda, bisa jadi akan menjadi lawan saat pesta-pora wisuda usai. Ya, toga menjadi lawan yang akan “menertawakan” sinis pada sarjana, jika sarjana tak mampu memberikan kontribusi riil atau sekadar mendistribusikan ilmunya bagi masyarakat sekitarnya.
Secara tak sadar, selama ini sebenarnya toga telah berhasil mengelabuhi asumsi seorang sarjana bahwa toga adalah segalanya, pengakuan status kesarjanaan, sehingga harus dikejar mati-matian. Padahal, jika kita mau berpikir kritis sejenak, toga sebenarnya ingin menagih obralan janji kaum akademisi sebagai penyeru “agen perubahan sosial” yang digembar-gemborkan dahulu. Sudahkah mereka menjadi agen perubahan sosial?
Bagi saya, toga tak lebih seperti sarung atau celana bagi muslim saat sembahyang mengahadap Tuhannya. Toga hanyalah simbol formal selebrasi hajatan universitas atau sekolah yang berjudul wisuda. Selebihnya, toga tak beda dengan pakaian lainnya. Meski begitu, toga bukan berarti miskin makna. Toga tetaplah busana sakral bagi para pemakainya (wisudawan/wisudawati), karena di dalam toga tersemat pelbagai makna agung.
Tafsir Toga vis a vis Kontribusi Sarjana
Dalam toga tersimpan pelbagai makna lewat sematan simbol dan tanda yang unik. Bicara soal symbol dan tanda, otomatis bicara soal semiotika budaya (cultural semiotic). Roland Barthes —ahli semiotik asal Perancis— pernah menyatakan, simbol yang tercipta dalam sebuah medium yang bersifat masif merupakan representasi dari budaya yang ada (Peter Pericles Trifonas: 2003). Jadi, jika dulu toga hanya dikenal bangsa Romawi kuno sekitar abad 1200 SM sekadar sebagai pakaian yang dililitkan ke tubuh saat dalam ruangan, maka kini, derajat toga telah tinggi dan menjadi budaya pakaian kaum akademisi yang dipakai hanya saat event tertentu seperti wisuda.
Jika kita mau menilik eksistensi toga, setidaknya terdapat tiga simbol dengan tiga makna yang unik dan berbeda dalam tubuh toga. Yakni, warna hitam pada toga, topi toga Idealnya, berbentuk persegi, dan kuncir tali di topi toga. Pertama, warna hitam pada toga. Seperti jamak diketahui, hitam merupakan simbol misteri dan kegelapan. Nah, misteri dan kegelapan inilah yang harus dikalahkan oleh para sarjana. Sejauh mana mereka mau mentransformasikan ilmunya pada masyarakat. Selain itu, warna hitam juga berarti keagungan. Maka dari itu, selain sarjana, hakim dan pemuka agama pun memakai toga dengan warna hitam. Jadi, sarjana adalah teladan masyarakat. Tak sepantasnya jika mereka menyalahi norma.
Kedua, topi toga berbentuk persegi. Topi toga berbentuk persegi menyimbolkan bahwa seorang sarjana dituntut mampu berpikir rasional, dan memandang segala sesuatu dari pelbagai sudut pandang secara komprehensif. sarjana harus mampu berpikir multidisipliner, tak rigid, dan tak eksklusif, dengan harapan agar tidak timbul klaim-klaim kebenaran yang berpotensi lahirnya konflik.
Ketiga, kuncir tali di topi toga. Saat penyerahan ijazah sarjana, master, atau doctor, biasanya kita mengamatia adanya seremonial pindah kuncir taliyang semula dari kiri kemudian digeser ke kanan. Ini tentu bukan tanpa makna. Ini pertanda bahwa setelah menjadi wisudawan-wisudawati, ia dituntut untuk lebih menggunakan otak kanannya-yang meniscayakan kreatifitas dan inovatifitas pengembangan ilmu pengetahuan, dari pada penggunaan otak kiri yang cenderung berfungsi menerima asupan ilmu pengetahuan.
Terlepas dari semua hiruk pikuk wisuda serta makna simbolis toga tersebut, persoalan mendesak saat ini adalah sudahkah para sarjana itu memberikan kontribusi nyata pada masyarakat sekitarnya? Idealnya, wisuda tidak hanya diartikan sebagai selesainya masa study dengan raihan gelar dan “keberhasilan semu”, tapi wisuda lebih tepat diartikan sebagai moment memulai belajar dengan realitas kehidupan yang penuh dengan problematika akut. Dari sana seharusnya para wisudawan tahu kalau yang dibutuhkan masyarakat adalah kontribusi kalian, bukan sebatas kerangka teoritik yang justru tidak bias dipahami masyarakat awam. Segera tentukan peranmu dan jadilah insan yang bermanfaat karena sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesama.
Penulis adalah alumnus
MI Nafa tp. 2003

Sekarang Aktif Sebagai Manager KSU Nafa Takaful.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar