Tragedi Toga
dibalik Wisuda
Oleh:
Shohibul Habib, S.Th.I
Dalam
hiruk-pikuk selebrasi wisuda, toga menjelma bagai “jas presiden” yang pantas
diagung-agungkan. Toga mengabarkan pada khalayak bahwa seorang anak manusia
telah selesai masa studinya di universitas atau sekolah dengan raihan gelar
bertajuk sarjana/wisudawan. Toga mengukuhkan kuasa serta identitas murid
menjadi manusia merdeka dan berhasil lulus. Ya, manusia yang merdeka dari
kungkungan pelbagai tugas kuliah, PR Sekolah dan tetek-bengek urusan pendidikan.
Aneh
kedengarannya, jika wisudawan atau wisudawati tak mengenakan toga saat wisuda
tiba. Entah fenomena ini telah menjadi tradisi wajib para akademisi saat wisuda
tiba, atau sekadar selebrasi event yang bisa saja diganti jika sudah tak
relevan dengan zamannya. Yang pasti, toga telah ditafsir wisudawan atau
wisudawati sebagai simbol kesuksesan studi.
Sadar atau
tidak, toga yang seharusnya menjadi simbol “kewibawaan” bagi para sarjana,
alih-alih justru menjelma menjadi tragedi yang memilukan, bahkan
menyengsarakan. Toga menjadi tragedi, tatkala sarjana tak kuasa memaknainya
secara kritis. Toga yang semula menjadi kawan saat wisuda, bisa jadi akan menjadi
lawan saat pesta-pora wisuda usai. Ya, toga menjadi lawan yang akan
“menertawakan” sinis pada sarjana, jika sarjana tak mampu memberikan kontribusi
riil atau sekadar mendistribusikan ilmunya bagi masyarakat sekitarnya.
Secara tak
sadar, selama ini sebenarnya toga telah berhasil mengelabuhi asumsi seorang
sarjana bahwa toga adalah segalanya, pengakuan status kesarjanaan, sehingga harus
dikejar mati-matian. Padahal, jika kita mau berpikir kritis sejenak, toga sebenarnya
ingin menagih obralan janji kaum akademisi sebagai penyeru “agen perubahan
sosial” yang digembar-gemborkan dahulu. Sudahkah mereka menjadi agen perubahan
sosial?
Bagi saya,
toga tak lebih seperti sarung atau celana bagi muslim saat sembahyang
mengahadap Tuhannya. Toga hanyalah simbol formal selebrasi hajatan universitas
atau sekolah yang berjudul wisuda. Selebihnya, toga tak beda dengan pakaian
lainnya. Meski begitu, toga bukan berarti miskin makna. Toga tetaplah busana
sakral bagi para pemakainya (wisudawan/wisudawati), karena di dalam toga
tersemat pelbagai makna agung.
Tafsir Toga
vis a vis Kontribusi Sarjana
Dalam toga
tersimpan pelbagai makna lewat sematan simbol dan tanda yang unik. Bicara soal
symbol dan tanda, otomatis bicara soal semiotika budaya (cultural semiotic).
Roland Barthes —ahli semiotik asal Perancis— pernah menyatakan, simbol yang
tercipta dalam sebuah medium yang bersifat masif merupakan representasi dari budaya
yang ada (Peter Pericles Trifonas: 2003). Jadi, jika dulu toga hanya dikenal
bangsa Romawi kuno sekitar abad 1200 SM sekadar sebagai pakaian yang dililitkan
ke tubuh saat dalam ruangan, maka kini, derajat toga
telah tinggi dan menjadi budaya pakaian kaum akademisi yang dipakai hanya saat
event tertentu seperti wisuda.
Jika kita mau menilik eksistensi toga, setidaknya terdapat
tiga simbol dengan tiga makna yang unik dan berbeda dalam tubuh toga. Yakni,
warna hitam pada toga, topi toga Idealnya, berbentuk persegi, dan kuncir tali
di topi toga. Pertama, warna
hitam pada toga. Seperti jamak diketahui,
hitam merupakan simbol misteri dan kegelapan. Nah, misteri dan kegelapan inilah
yang harus dikalahkan oleh para sarjana. Sejauh mana mereka mau
mentransformasikan ilmunya pada masyarakat. Selain itu, warna hitam juga
berarti keagungan. Maka dari itu, selain sarjana, hakim dan pemuka agama pun
memakai toga dengan warna hitam. Jadi, sarjana adalah teladan masyarakat. Tak
sepantasnya jika mereka menyalahi norma.
Kedua, topi toga berbentuk persegi. Topi toga berbentuk persegi menyimbolkan bahwa seorang
sarjana dituntut mampu berpikir rasional, dan memandang segala sesuatu dari
pelbagai sudut pandang secara komprehensif. sarjana harus mampu berpikir
multidisipliner, tak rigid, dan tak eksklusif, dengan harapan agar tidak timbul
klaim-klaim kebenaran yang berpotensi lahirnya konflik.
Ketiga, kuncir tali di topi toga. Saat penyerahan ijazah sarjana, master, atau doctor,
biasanya kita mengamatia adanya seremonial pindah kuncir taliyang semula dari
kiri kemudian digeser ke kanan. Ini tentu bukan tanpa makna. Ini pertanda bahwa
setelah menjadi wisudawan-wisudawati, ia dituntut untuk lebih menggunakan otak
kanannya-yang meniscayakan kreatifitas dan inovatifitas pengembangan ilmu
pengetahuan, dari pada penggunaan otak kiri yang cenderung berfungsi menerima
asupan ilmu pengetahuan.
Terlepas dari semua hiruk pikuk wisuda serta makna simbolis
toga tersebut, persoalan mendesak saat ini adalah sudahkah para sarjana itu
memberikan kontribusi nyata pada masyarakat sekitarnya? Idealnya, wisuda tidak
hanya diartikan sebagai selesainya masa study dengan raihan gelar dan
“keberhasilan semu”, tapi wisuda lebih tepat diartikan sebagai moment memulai
belajar dengan realitas kehidupan yang penuh dengan problematika akut. Dari
sana seharusnya para wisudawan tahu kalau yang dibutuhkan masyarakat adalah
kontribusi kalian, bukan sebatas kerangka teoritik yang justru tidak bias
dipahami masyarakat awam. Segera tentukan peranmu dan jadilah insan yang
bermanfaat karena sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi sesama.
Penulis
adalah alumnus
MI
Nafa tp. 2003
Sekarang
Aktif Sebagai Manager KSU Nafa Takaful.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar